About

Semoga Bermanfaat

Sejarah Kusta
Kusta adalah suatu penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae yang menyerang syaraf tepi, kulit, mukosa pada saluran pernapasan atas dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit ini telah dikenal hampir 2000 tahun Sebelum Masehi. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan sejarah Mesir. Di India istilah Kusta dikenal dari kitab Weda tahun 600 SM dan di Cina tahun 400 SM. Pada waktu itu, masyarakat mengenal kusta sebagai penyakit yang menular, yang menyebabkan kecacatan dan tidak dapat disembuhkan. Di eropa, kusta pertama kali muncul dalam catatan Yunani kuni setelah tentara Alexander Agung kembali dari India. Kemudian di Roma pada 62 SM bertepatan dengan kembalinya pasukan pompei dari Asia kecil.

Download this on PDF version
Kuman penyebab kusta ditemukan oleh Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha dalam penanggulangannya.

Di Indonesia, Dr. Sitanala telah mempelopori perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan pengobatan berjalan. DDS digunakan sebagai pengobatan penderita kusta pada tahun 1951. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di Puskesmas dan sejak tahun 1982 Indonesia mulai melakukan obat Kombinasi Multidrug Therapy (MDT) sesuai dengan rekomendasi WHO.

Di Indonesia, selama periode 2008-2009, angka penemuan kasus baru kusta tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk. Sedangkan prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga 0,98 per 10.000 dan telah mencapai target < 1 per 10.000 penduduk.

Namun, kusta merupakan Permasalahan penyakit kusta ini merupakan permasalahan yang sangat kompleks yang membutuhkan penanganan secara komprehensif. Masalah yang dihadapi bukan dari sisi medis saja tetapi juga masalah psikososial sebagai akibat yang ditumbulkan olh penyakit ini. Penyakit ini sudah tidak asing lagi di masyarakat. Berbagai program  penanggulangan terus dilakukan, namun penyakit ini masih saja menjadi penyakit yang ditakuti oleh sebagian besar masyarakat karena kurang memahami tentang penyakit ini yang dapat disembuhkan terdapat type lepra yang tidak menular ke orang lain.

Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh Mycobakterium leprae yang merupakan bakteri tahan asam, berbentuk batang yang sedikit lurus dengan ukuran 1-8 mikron dan lebar 0,2-0,5 mikron. Biasanya berkelompok dan ada yang menyebar satu-satu, tidak membentuk spora, dikelilingi oleh membrane sel lilin. Bakteri kusta mengalami proses perkembangbiakan dalam waktu 2-3 minggu, pertahanan bakteri ini dalam tubuh manusia mampu bertahan 9 hari di luar tubuh manusia. Kusta merupakan penyakit kulit dengan perkembangan yang sangat lambat. Masa inkubasi sekitar 2-5 tahun.

Sumber dan Cara Penularan
Pada awalnya manusia dianggap satu-satunya host dan sumber penularan, tetapi pada tahun 1970 ditemukan juga pada Armadillos dan juga pada Kera yang diimpir dari Afrika Barat ke Amerika Serikat. Walaupun demikian bahwa manusia merupakan sumber utama penularan dengan tipe lepromatus memegang peranan penting.

Penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan. Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe lepromatosa yang tidak diobati, dan basil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lendir hidung yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatusa dapat menjadi sumber penyebar basil. Organisme kemungkinan masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit yang terluka. Pada kasus anak-anak dibawah umur satu tahun, penularannya diduga melalui plasenta.

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi penularan antara lain sebagai berikut:
a. Faktor penderita 
Penderita tipe Lepromatus yang tidak diobati merupakan penularan yang penting.

b. Faktor kuman kusta
Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman-kuman kusta yang masih utuh (Solid) bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dari pada kuman yang tidak utuh lagi. Lamanya kuman kusta di luar badan manusia memegang peranan pula dalam hal penularan yaitu bila kuman keluar dari badan penderita  maka kuman dapat bertahan 1-2 hari dan ada pula yang berpendapat 1-7 Hari hal ini tergantung dari suhu atau cuaca di luar karena makin panas suhu di luar makin cepat kuman kusta akan mati.

c. Faktor daya tahan tubuh Orang lain
Tubuh manusia dan kerentangan tersendiri yaitu ada yang mempunyai kerentangan tinggi atau daya tahan tubuh yang rendah sehinggah sesudah kemasukan kuman kusta dapat timbul gejala penyakit  kusta pada kulit dan syaraf tepi.

d. Keadaan lingkungan hidup
Keadaan rumah yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan kemiskinan,merupakan factor penyebab tingginya  angka kusta. Sebaliknya dengan meningkatnya taraf hidup dan perbaikan sanitasai merupakan factor utama menghilangnya kusta di Eropa. Insidensi tertinggi pada daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab.

e. Faktor Imunitas
Sebagian besar manusia mempunyai kekebalan alamia terhadap  kusta dimana 90 % orang dewasa menunjukkan lepromin positif dan faktor ini sangat berpengaruh pada tipe kusta yang mungkin timbul.

f. Faktor Umur
Penyakit kusta dapat mengenai semua umur dan lebih banyak didapat setelah pubertas, mengingat masa ingkubasi penyakit ini yang dari beberapa tahun hingga berpuluh-puluh  tahun lamanya, Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi. Kusta dapat menyerang semua umur, anak – anak lebih rentan daripada orang dewasa. Frekuensi tertinggi pada kelompok dewasa adalah usia 25 – 35 tahun sedangkan pada kelompok anak adalah pada usia 10-12 tahun. (Mansjoer, 2000).

Patogenesis
Setelah kuman masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit ini bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat seluler pasien. Jika sistem imunitas seluler tinggi (cell mediated immunie), penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah berkembang ke arah lepramatosa.

Klasifikasi
Klasifikasi penyakit kusta dapat dilakukan berdasarkan beberapa prinsip utama:
1. Klasifikasi menurut Madrid (1953):
a. Kusta Tuberculoid (T) adalah bentuk ringan, kelainan terutama mengenai syaraf, sedikit atau tidak mengandung basil.
b. Kusta Lepromatous (L) adalah bentuk ganas dan luas, kelainan terutama pada kulit, mengandung banyak sekali basil.
c. Borderline (B) adalah bentuk antara dari bentuk Lepromateus dan Tuberculoid

2. Klasifikasi menurut Ridley dan Jopling (1966)
a. Kusta Tuberculoid (TT)
b. Borderline-Tuberculoid (BT)
c. Borderline (BB)
d. Borderline Lepromatous (BL)
e. Lepromatous (LL)

3. Klasifikasi penyakit kusta menurut WHO (1955), yaitu:
a. Tipe Pausi Basiler (PB) :
- Sedikit mengandung kuman-kuman kusta, tidak menular walaupun kemungkinan masih ada
- Lesi kulit 1 – 5
- Distribusi tidak simetris
- Kerusakan syaraf hanya satu cabang syaraf.

b. Tipe Multi Basiler (MB) :
- Banyak kuman-kuman kusta didalam tubuh dan merupakan bentuk yang menular.
- Lesi kulit > 5
- Distribusi lebih simetris
- Kerusakan syaraf banyak cabang syaraf

Berikut tabel yang dapat membantu dalam menentukan klasifikasi PB dan MB didasarkan pada beberapa kriteria. Penentuan tipe tidak boleh berpegang pada hanya salah satu dari kriteria, akan tetapi harus dipertimbangkan dari seluruh kriteria.


Tanda dan Gejala Penyakit Kusta
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau dari penyakit tersebut. Gejala-gejala umumnya diantaranya:
a. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.  Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak.
b. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit 
c. Rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka.. 
d. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. 
e. Alis rambut rontok.
f. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).
g. Mati rasa karena kerusakan syarat tepi.
h. Ada bagian tubuh tidak berkeringat.

Gejala-gejala umum pada lepra, reaksi : 
a. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil. 
b. Anoreksia. 
c. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus. 
d. Cephalgia. 
e. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis. 
f. Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia.
g. Nepritis dan hepatospleenomegali.
h. Neuritis.

Diagnosis
Diagnosa kusta dan klasifikasi harus dilihat secara menyeluruh dari segi: 
a. Anamnese
b. Klinis; pemeriksaan kulit dan pemeriksaan syaraf tepid an fungsinya.
c. Bakteriologis 
d. Immunologis 
e. Hispatologis 
Namun untuk diagnosa kusta di lapangan cukup dengan ananese dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan bakteriologis. Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran histologis yang khas. Tes-tes serologik bukan treponema untuk sifilis sering menghasilkan positif palsu pada lepra.
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau “cardinal sign” pada badan, yaitu :
a. Berkurangnya pigmentasi pada kulit (Bercak keputihan) 
b. Berkurangnya perasaan (hypaesthesi) atau hilangnya perasaan (Anaezthesi) pada bercak keputihan.
c. Penebalan syaraf tepi.
d. Pembengkakan kulit dengan warna kemerah-merahan (Infiltrasi) setempat atau tersebar.
e. Bintik-bintik kemerahan yang disebagian badan atau tersebar merata.
f. Adanya kuman tahan asam di dalam korekan jaringan kulit (BTA positif).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bila mana terdapat sekurang-kurangnya 2 dari tanda-tanda tersebut atau bila terdapat BTA (+) diambil dari bagian kulit yang dicurigai. Apabila hanya satu yang ditemukan tanda-tanda mka dianggap sebagai (Sustek) dan diperiksa ulang setiap 3 (tiga) bulan sampai: 
1). Tanda-tanda tersebnut menghilang atau:
2). Diagnosa penyakit kusta menjadi tegas atau,
3). Dinyatakan penyakit lain.
Program pemberantasan
1. Upaya pencegahan
a. Penyuluhan kesehatan harus menekankan pada informasi tentang tersedianya obat-obatan yang efektif, tidka terjadi penularan pada penderita yang berobat teratur serta upaya pencegahan cacat fisik dan sosial.
b. Temukan penderita sedini mungkin, khususnya penderita type multibasiler yang menular dan berikan pengobatan kombinas (Multi drug therapy).
c. Uji coba lapangan di Uganda, India, Malawi, Myanmar dan Papua Nugini, pemberian Bacillus Calmette-Guerin (BCG) jelas dapat mengurangi timbulnya penyakit kusta tuberkuloid pada orang-orang yang kontak.
2. Penemuan Penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya.
a. Laporan ke instansi kesehatan setempat.
b. Penemuan penderita yang dilakukan terhadap orang yang belum pernah berobat kusta yang dapat sendiri atau atas saran orang lain ke Puskesmas/Sarana kesehatan lainnya.
c. Pemeriksaan anak sekolah SD/Taman kanak-kanak atau sederajat yang disebut Survei sekolah.
d. Chase survey: mencari penderita baru dalam satu lingkup kecil, misalnya Desa atau kelurahan sambil membina partisipasi masyarakat.
e. Survei khusus yang dilakukan pada suatu ruang lingkup kecil misalnya suatu RT, dimana proporsi penderita baru MB minimal 60% dan dijumpai penderita usia muda cukup tinggi.
f. Investigasi orang-orang yang kontak dari sumber infeksi: pemeriksaan dini paling bermanfaat.

Pengobatan
Pengobatan spesifik. Mengingat sangat tingginya tingkat resistensi dari dapsone dan munculnya resistensi terhadap rifampin maka pemberian terapi kombinasi (Multi Drug therapy) sangatlah penting.
a. Mengingat sangat tingginya tingkat resistensi dari dapsone dan munculnya resistensi terhadap rifampinmaka pemberian terapi kombinasi (multidrug theraphy) sangatlah penting. 
b. Rejimen minimal yang dianjurkan oleh WHO untuk kusta tipe multibasiler adalah rifampin, 600 mg sebulan sekali; DDS, 100 mg per hari; dan clofasimine, 300 mg sebulan sekali dan 50 mg per hari Rifampin dan clofasimine yang diberikan setiap bulan harus diawasi dengan ketat.
c. Komite Ahli Kusta WHO telah menetapkan waktu minimal yang diperlukan untuk pengobatan kusta tipe multibasiler dipersingkat menjadi 12 bulan dimana sebelumnya waktu pemberian pengobatan adalah 24 bulan. Pengobatan jika diperlukan dapat diperpanjang sampai pada pemeriksaan specimen kulit menunjukkan hasil negative. 
d. Untuk penderita kusta tipe pausibasiler (tuberkuloid) atau untuk penderita dengan lesi kulit tunggal pemberian dosis tunggal obat kombinasi yang terdiri dari 600 mg rifampin, 400 mg ofloxaxin dan 100 mg mynocyclone sudah mencukupi. 
e. Bagi penderita tipoe pausibasiler dengan lesi kulit lebih dari satu, rejimen yang dianjurkan adalah (600 mg rifampin yang diberikan sebulan sekali dengan pengawasan yang ketat, 100 mg  dapsone setiap hari), diberikan selama 6 bulan. 
f. Penderita yang sedang mendapat pengobatan harus dimonitor untuk melihat kemungkinan terjadinya efek samping, reaksi kusta, dan ulkus tropikum. Komplikasi yang tertentu yang terjadi selamapengobatan perlu rujuk pada pusat rujukan.
g. Pasien dinyatakan sembuh; kasus Multibasiler sebanyak 12 dosis dalam 12-18 bulan. Kasus pausibasiler sebanyak 6 dosis dalam 6-9 bulan.

Referensi
Chin, James. 2000. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Diterjemahkan oleh I Nyoman kandun.
Anonim. Kebijakan Pemberantasan Kusta. Jakarta. Available on http://infopenyakit.org/userfiles/pedoman%20kusta.pdf
Kemenkes. 2015. InfoDATIN: Kusta. Jakarta.
WHO. Classification of leprosy
WHO. Leprosy; the disease.
Zulkifli. 2003. Penyakit Kusta dan Masalah yang Ditimbulkannya. FKM USU.

KUSTA/LEPRA
(Morbus Hansen)



Hasirun, S.K.M

0 komentar:

Posting Komentar

Recent Comments