About

Semoga Bermanfaat


1.      Sejarah filariasis
Penyakit filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria limfatik yang ditularkan oleh berbagai nyamuk. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun  1889 oleh Haga dan Van Eeke dijakarta sebagai kasus elephantiasis skrotum.
2.      Pengertian filariasis
Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi nematoda dari famili filariodea, dimana cacing dewasanya hidup dalam cairan dan saluran limfe, jaringan ikat di bawah kulit dan dalam rongga badan. Cacing dewasa betina mengeluarkan mikrofilaria yang dapat ditemukan dalam darah, hidrokel, kulit, sesuai dengan sifat masing-masing spesiesnya. ( Rempengan dan Laurentz, 1993)
Menurut Ditjen PPM & PLP Depkes RI, 2001, filariasis atau penyakit kaki gajah adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria, yang hidup dalam saluran dan kelenjar getah bening (limfe) yang dapat menyebabkan gejala akut dan kronis serta ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Gejala akut yang berulang dan gejala kronis yang menetap sangat menurunkan kwalitas sumber daya manusia serta produktifitas penderita karena tidak dapat bekerja secara optimal sehingga merugikan masyarakat dan negara terutama menjadi beban keluarga.
Penyakit ini bersifat menahun dan bila tidak mendapat pengobatan dengan baik dapat menimbulkan cacat menetap berupa penbesaran kaki, lengan, payudara dan alat kelamin, baik laki-laki maupun perempuan. Penderita yang telah cacat biasanya akan merasa rendah diri (stigma) apalagi dengan adanya anggapan yang keliru dari masyarakat tentang penyakit filaria sebagai penyakit keturunan atau penyakit kutukan.         
3.      Epidemiologi
a.       Penyebaran
Distribusi dan prevalensi penyakit filariasis tampaknya meningkat dibanyak tempat di Afrika dan Asia. Infeksi wucheriria bancrofti endemis diantara garis 41° lintang utara dan 30° lintang selatan, terutama Afrika, Kepulauan Pasifik, Asia Tenggara, Korea Utara, India Barat, Amerika Tengah dan Dataran Pantai Timur Amerika Selatan. Infeksi Brugia Malayi jauh lebih terbatas distribusinya dan terdapat di India, Burma, Muangthai, Vietnam, Cina, Korea Selatan, Jepang, Malaysia, Indonesia, Brunei, Papua Nugini dan Filipina. Kini parasit tersebut sudah menghilang dari Srilanka. Infeksi Brugia Timori hanya ditemukan di Indonesia bagian timur. Saat ini penyakit filarial terdapat di 80 negara, dan menyerang 120 juta penduduk, 40 juta diantaranya menderita penyakit filariasis yang serius dengan infeksi kronis.
Di Indonesia jenis parasit filariasis mempunyai penyebaran yang berbeda-beda. Secara epidemiologi spesies cacing filaria di bedakan menjadi enam (6) tipe:
(1)   Wucheriria bancrofti yang ditemukan di daerah perkotaan (urban) seperti Jakarta, Bekasi, Pekalongan dan sekitarnya, ditularkan oleh nyamuk culex quinquefasciatus yang berkembang di air kotor. Microfilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari (periodisitas nokturna).
(2)   Wucheriria bancrofti yang ditemukan didaerah pedesaan (rural) dengan endemitas tinggi diluar jawa terutama di Irian Jaya (Papua), mempunyai periodesitas nokturna dan ditularkan oleh genus anopheles, culex, dan aedes. Daerah dengan endemisitas tinggi ditemukan di Aceh, Sumatra Barat, Sulawesi Tengah,dan Nusa Tenggara Timur.
(3)   Brugia Malayi ditemukan di daerah persawahan bersifat periodik nokturna dan ditularkan oleh nyamuk Anopheles barbitrosis.
(4)   Brugia malayi ditemukan di rawa, bersifat subperiodik nokturna dan ditularkan oleh nyamuk mansonia.
(5)   Brugia malayi ditemukan di daerah hutan bersifat non periodik, microfilaria ditemukan di daerah tepi baik siang maupun malam hari, ditularkan oleh nyamuk mansonia.
(6)   Brugia timori yang bersifat periodik nokturna di daerah Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara, dan mungkin juga didaerah lain, ditularkan oleh nyamuk anopheles barbitrosis.       
b.      Agen
Agen penyebab penyakit filariasis adalah cacing nematoda dari family filasodea yang berbentuk seperti benang, hidup berbelit satu sama lain dalam saluran limfe manusia. Cacing tersebut terdiri atas:
(1)   Wucheriria bancrofti
Wucheriria bancrofti jantan berukuran 35 sampai 40 mm dengan diameter 0,1 mm dan cacing betina berukuran 80 mm sampai 100 mm dengan diameter 0,24 sampai 0,30 mm. Cacing wucheriria bancrofti dewasa tinggal dalam darah dan limfe. (Rempengan dan Laurentz, 1993)
Pada manusia wucheriria bancrofti dapat hidup kira-kira lima tahun sesudah menembus kulit, melalui gigitan nyamuk larva meneruskan perjalanannya kepembuluh darah dan kelenjar limfe tempat mereka tumbuh sampai dewasa dalam waktu satu tahun. Microfilaria kemudian meninggalkan cacing induknya, menembus dinding pembuluh limfe menuju kepembuluh darah yang berdekatan atau terbawa aliran limfe kedalam aliran darah. (Herdiman T. Pohan, 2002, dalam hasiri 2005 )
Microfilaria setelah di warnai akan menunjukkan inti-inti dan berbagai alat dalam yang dapat dilihat mikroskop fase kontras. Penelitian baru dengan menggunakan pewarnaan khusus memperlihatkan kait-kait dan duri-duri dironggga kepala berbagai spesies microfilaria dan faring berbentuk benang yang berjalan dari ujung anterior ke innen-korper.

(2)   Brugia malayi
Brugia malayi serupa dengan wucheriria bancrofti tetapi mempunyai ukuran yang lebih kecil. Cacing brugia malayi betina berukuran 43–55mm dengan diameter 130-170mikrometer dan jantan dengan panjang 13-30mm dengan diameter 70-80mikrometer (Rempengan dan Laurent, 1993). Larva stadium III dapat dibedakan dari wucheriria bancrofti karena lebih kecil dan papil kaudal yang kurang menonjol. Cacing ini hidup dalam kelenjar dan saluran limfe, periodisitas nokturnal, bersarung, dan berbentuk khas tidak senyata wucheriria bancrofti. Dalam tubuh nyamuk tumbuh menjadi larva infektif dalam waktu 6 – 12 hari.
(3)   Brugia timori
Cacing dewasa hidup dalam saluran dan kelenjar limfe. Mikrofilarianya menyerupai mikrofilaria brugia malayi, yaitu lekuk badannya pata-patah dan susunan intinya tidak teratur, perbedaannya terletak dalam hal:
a         Panjang kepala sama dengan tiga kali lebar kepala
b        Ekornya mempunyai inti tambahan yang ukurannya lebih kecil daripada inti-inti lainnyadan letaknya lebih berjauhan bila dibandingkan dengan inti tambahan brugia malayi
c         Sarungnya tidak mengambil warna pulasan giemza
d        Ukurannya lebih panjang dari mikrofilaria brugia malayi, mikrofilaria bersifat nokturnal.
c.       Host
Untuk melengkapi siklus kehidupannya, cacing filaria memerlukan hospes sebagai media pertumbuhannya dan perkembangbiakan. Hospes pada penyakit filariasis terdiri atas tiga yakni:
(1)   Hospes perantara   : nyamuk
(2)   Hospes reservoir    : kera dan kucing domestik
(3)   Hospes definitif    : manusia
d.      Lingkungan
Lingkungan penyakit filariasis mencakup:
(1)   Lingkungan fisik
Endemisitas penyakit filariasis tersebar luas didaerah dataran rendah dan daerah perbukitan yang rendah, banyak ditemukan didaerah pedesaan  dan perkotaan seperti air limbah diperkotaan, air payau di daerah pantai, daerah rawa, daerah persawahan, daerah dekat hutan.  
(2)   Lingkungan biologis
Lingkungan biologis penyakit filariasis mencakup manusia yang merupakan hospes defenitif, nyamuk yang merupakan hospes perantara, kera dan kucing domesik yang bertindak sebagai hospes perantara.   
(3)   Lingkungan sosial, ekonomi dan budaya
Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya merupakan lingkungan yang timbul akibat adanya interaksi antara manusia, termasuk diantaranya sosial ekonomi penduduk, perilaku penduduk, adat istiadat, tingkah laku, budaya suatu daerah, kebiasaan hidup penduduk, dan sebagainya.      
4.      Siklus Penularan
Penyakit filariasis ditularkan dari penderita  (orang yang didalam darahnya mengandung mikrofilaria) baik yang sudah dengan gejala klinik maupun yang belum kepada orang lain melalui gigitan nyamuk penularnya. Dibeberapa daerah penyakit ini dapat juga ditularkan dari binatang kebinatang, binatang kemanusia, dan dari manusia kebinatang. Sklus penularan penyakit filariasis terdiri atas dua tahap:
a         Tahap perkembangan dalam tubuh nyamuk (vektor)
(1)   Saat nyamuk (vektor) menghisap darah penderita (mikrofilaremia) beberapa mikrofilaria ikut terhisap bersama darah dan masuk ke dalam lambung nyamuk.
(2)   Beberapa saat setelah berada dalam lambung nyamuk, mikrofilaria melepas selubung, kemudian menerobos dinding lambung menuju kerongga badan dan selanjutnya kejaringan otot toraks.
(3)   Didalam jaringan otot toraks, larva stadium I (L1) berkembang menjadi larva stadium II (L2) dan selanjutnya berkembang menjadi larva stadium III (L3) yang infektif.
(4)   Waktu untuk berkembang L1 menjadi L3 (masa inkubasi ekstrinsik) untuk wucheriria bancrofti antara 10 – 14 hari, brugia malayi dan brugia timori 7-10.
(5)   Mikrofilaria stadium III bergerak menuju proboscis nyamuk dan akan dipindakan ke manusia (hospes definitif) dan binatang (hospes reservoir).
(6)   Mikrofilaria didalam tubuh nyamuk hanya mengalami perubahan bentuk dan tidak mengadakan perkembangbiakan.
b        Tahap perkembangan dalam tubuh manusia dan reservoir
(1)   Di dalam tubuh manusia L3 akan menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing dewasa jantan dan betina.
(2)   Melalui proses kopulasi, cacing betina menghasilkan mikrofilaria yang beredar didalam darah secara periodik. Seekor cacing betina dewasa akan menghasilkan 30.000 larva setiap harinya.
(3)   Perkembangan L3 menjadi cacing dewas dan menghasilkan mikrofilaria untuk wucheriria bancrofti selama 9 bulan dan brgia malayi dan brugia timori selama 3 bulan.
(4)   Perkembangan seperti ini terjadi juga dalam tubu binatang.      
Adapun daur hidup dari cacing filaria jenis wucheriria bancrofti dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
 
5.      Faktor Risiko filaraisis
Dalam upaya pencegahannya, maka diperlukan identifikasi karakteristik epidemiologisnya yang dapat merupakan sebagai faktor risiko filariasis. faktor risiko ini menyebabkan orang menjadi lebih rentan atau mudah terkena filariasis.
Dalam penelitian Tobias E Erlanger dkk, dinyatakan bahwa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya penyakit filariasis dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu :
a.       Faktor lingkungan terdiri dari:
1)      Daerah pertanian dan pengairan
2)      Konstruksi tanggul listrik tenaga air
3)      Bendungan yang kecil dan bendungan untuk pertanian
4)      Sanitasi air
5)      Manajemen air limbah industri
6)      Sistem pengaturan kotoran lokal
7)      Tambak-tambak yang tidak dirawat
8)      Pembabatan hutan
9)      Banjir   
b.      Faktor biologi terdiri dari:
1).    Biologi parasite:
(a)    Kepadatan populasi
(b)   Spesies
(c)    Kelangsungan hidup
2).    Biologi nyamuk:
(a)    Kepadatan populasi
(b)   Species
(c)    Resistensi pembasmian serangga
(d)   Lama hidup vektor
3).    Biologi manusia:
(a)    Kepadatan penduduk
(b)   Jenis kelamin
(c)    Umur
(d)   Suku
(e)    Imunitas
(f)    Tingkat keterpaparan
c.       Faktor sosial-ekonomi terdiri dari:
1)      Kemiskinan
2)      Sistem kesehatan
3)      Imigrasi dan emigrasi
4)      Pendidikan
5)      Sikap
6)      Kebiasaan
7)      Pengetahuan  dan lain-lain.
6.      Vektor (nyamuk penular)
Penguasaan bionomik vektor sangat diperlukan dalam perencanaan pengendalian vektor. Usaha pengendalian vektor akan memberikan hasil maksimal, apabila ada kecocokan antara vektor yang menjadi sasaran dengan metode pengendalian yang diterapkan.
Di Indonesia telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu anopheles, culex, mansonia, aedes, dan armigeres yang dapat berperan sebagai vektor penular penyakit filariasis. Nyamuk anopheles diidentifikasi sebagai vector Wucheriria bancrofti tipe perkotaan. Spesies mansonia merupakan vector brugia malayi tipe sub periodic nokturna. Sementara anopheles barbirostris merupakan vektor brugia timori (Tomar SB dan Hari Kusnanto, 2007).
Hasil penelitian menyebutkan bahwa beberapa spesies dari genus anopheles disamping berperan sebagai vektor malaria juga dapat berperan sebagai vektor filariasis. Anopheles barbirostris diketahui sebagai vektor brugia malayi di sulawesi, Timor dan Flores (Partono dkk.,1972; Zainul S dkk., 2004). Di Timor Anopheles barbirostris dapat berperan sebagai vektor brugia timori (Denis dkk.,1976; Zainul dk.,2004). Pada percobaan laboratorium brugia timori dapat berkembang mencapau stadium infektif didalam nyamik Aedes togoi (Purnomo dkk.,1976). Anopheles nigerrimus dan Anopheles peditaeniatus diketahui sebagai vektor Brugia malayi di bengkulu (Suzuki, dkk.,1981) 
Setiap daerah endemis umumnya mempunyai satu spesies nyamuk yang menjadi vektor utama dan spesies nyamuk lainnya tidak menjadi vektor atau bersifat vektor potensial.     
7.      Gejala klinis
Pada dasarnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh wucheriria bancrofti, brugia malayi dan brugia timori adalah sama, hanya saja pada stadium dini gejala akut tampak lebih jelas pada brugia malayi dan brugia timori serta infeksi wucheriria bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kencing dan alat kelamin. Secara rinci gejala klinis wucheriria bancrofti dan brugia malayi serta brugia timori adalah sebagai berikut:
a.       Infeksi wucheriria bancrofti:
(1)   Stadium dini
(a)    Umumnya gejala limfadenitis dan limfangitis sifatnya ringan dan tidak nyata.
(b)   Gejala akut yang berupa demam tinggi dapat ditemukan bila terjadi orkirtis, epidedemitis, dan funikulitis.
(2)   Stadium lanjut
(a)    Hidrokel
Pembesaran skrotum yang berisi cairan limfe. Paling sering ditemukan didaerah endemis wucheriria bancrofti dan dapat menjadi indikator andemisitas wucheriria bancrofti.
(b)   Kiluria
Kencing seperti susu dengan atau tanpa darah, juga ditemukan di daerah wucheriria bancrofti tetapi jarang terjadi.
(c)    Limfedema/elephantiasis
Limfedema / elephantiasis pada infeksi wucheriria bancrofti dapat menjadi ukuran besar dan mengenai seluruh kaki atau lengan, skrotum, vagina, dan payudara. Keadaan ini dapat diperburuk karena adanya infeksi oleh bakteri atau jamur sehingga dapat terjadi benjolan pada kulit dengan gambaran seperti lumut. 
b.      Infeksi brugia malayi atau brugia timori:
(1)   Stadium dini
Reaksi radang akut lebih sering terjadi dan sifatnya berat sehinggga aktifitas sehari-hari terganggu.
(a)    Peradangan kelenjar dan saluran limfe (limfadinits dan limfangitis) sering terjadi didaerah lipat paha dan ketiak, tetapi dapat juga terjadi di tempat lain. Limfangitis pada filariasis dapat bersifat retrograde, yaitu mulai dari kelenjar turun ke daerah tepi.
(b)   Peradangan sering berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan mengeluarkan cairan jernih (limfe) atau nanah dan darah, kemudian sembuh meninggalkan jaringan parut. Hal ini sering ditemukan di daerah brugia malayi dan brugia timori.
(c)    Peradangan ini sering disertai demam tinggi, sakit kepala dan lemah sehingga penderia tidak dapat bekerja dan bersifat berulang(filarial fever). 
(2)   Stadium lanjut
(a)    Limfedewma /elephantiasis yang timbul sering menyerang bagian tungkai dibawah lutut / siku sehingga lutut / sikutampak normal.
(b)   Limfedema / elephantiasis pada infeksi brugia biasanya tidak seberat pada infekis wucheriria bancrofti.
8.      Upaya pencegahan dan pemberantasan
a.       Pencegahan
Oleh karena vaksin untuk pencegahan belun ada, maka satu-satunya cara pencegahan adalah mencegah agar tidak digigit nyamuk. Mengingat nyamuk penularnya sangat banyak dan tersebar luas, maka upaya ini perlu dilakukan oleh seluruh masyarakat dengan cara:
(1)   Memebersihkan got / selokan
(2)   Mamalihara ikan pada kolam
(3)   Memakai kelambu bila tidur
(4)   Memakai obat/cream agar tidak digigit nyamuk
b.      Pemberantasan
Pemberantasan filariasis dilakukan dengan cara memutuskan rantai penularnya sehingga tidak terjadi penularan baru. Cara-cara pemberantasannya sebagai berikut:
(1)   Memberantas nyamuk penularnya
Dalam tubuh nyamuk terjadi proses perubahan mikrofilaria yang dihisap dari darah manusia menjadi larva infektif, apabila nyamuk ini diberantas maka rantai penularan terputus sehingga tidak terjadi transmisi penyakit. Oleh karena jenis dan jumlah nyamuk sangat banyak maka sulit untuk dilakukan pemberantasan. 
(2)   Pemberantasan mikrofilaria dan cacing dewasa  
Manusia merupakan salah satu sumber penularan penyakit filariasis selain monyet dan kucing dibeberapa daerah tertentu. Larva infektif yang keluar dari nyamuk dan masuk kedalam pembuluh darah dan berkembang menjadi cacing jantan dan betina didalam saluran limfe. Melalui kopulasi cacing betina akan mengeluarkan ribuan mikrofilaria kedalam darah yang dapat terisap oleh nyamuk. Agar tidak terjadi penularan cacing dewasa mikrofilaria adalah dengan pemberian obat DEC dan Albendazol.   
9.      Pengobatan
Pengobatan penyakit filariasis dibagi menjadi tiga macam:
a         Pengobatan massal
Pengobatan massal dilakukan didesa endemis dengan Mf rate ≥ 1. pengobatan DEC dosis tunggal dikombinasikan dengan albendazol diberikan sekali setahun pada penduduk yang berusia dua (2) tahun keatas. Metoda pengobatannya adalah:
(1)   DEC                            : 6 mg/kg/berat badan
(2)   Albendazol                  : 400 mg (1 tablet)
(3)   Parasetamol, dosis       :
(a)    Dewasa                 :           1 tablet
(b)   6 – 12 tahun          :           ½ tablet
(c)    2 – 6 tahun                        :           ¼ tablet
b        Pengobatan selektif
Dilakukan didaerah yang tidak endemis dengan Mf rate ≤ 1%. Pengobatan hanya diberikan kepada warga masyarakat dengan hasil pemeriksaan darah positif (+) dan keluarganya. Metode pengobatan sama dengan pengobatan massal.
c         Pengobatan kasus klinis
Semua kasus klinis penyakit filariasis baik stadium dini maupun stadium lanjut dengan gejala akut berupa demam demam dan gejala peradangan lainnya ditunda ditunda pemberian DEC sampai gejala akut dapat diatasi dengan menggunakan obat analgesik, antipiretik, dan antibiotika guna menghindari efek samping yang lebih berat dari DEC. Setelah gejala akut teratasi, dapat diberikan pengobatan DEC 3 X 1 tablet selama 10 hari disertai pemberian parasetamol 3 X 1 tablet selama tiga (3) hari. Selanjutnya penderita kasus klinis tersebut diikutkan pengobatan massal pada tahun berikutnya. Selain itu pengobatan kasus klinis filariasis memerlukan penanganan khusus sesuai dengan stadium penyakit.

0 komentar:

Posting Komentar

Recent Comments